Hari ini ketika saya memberikan pelatihan kewirausahaan di sebuah perguruan tinggi, saya bertanya kepada para peserta, “Enak mana menjadi miskin namun baik atau menjadi kaya namun korup?” Sontak semua peserta berkata bahwa, “Lebih baik saya miskin namun baik.”
Oke, sampai di situ saya kemudian bertanya tentang memilih uang. “Mana yang ingin dipilih, mendapat uang bergambar peci (Rp100.000) atau uang bergambar golok (Rp1.000)? Ternyata semua orang hampir menjawab ingin mendapatkan uang yang bergambar peci.
Bagaimana dengan Anda? Memilih yang bergambar golok atau yang bergambar peci? Apa yang akan saya bahas dalam tulisan kali ini?
Jadi, Anda memilih yang mana? Peci atau golok?
Oke, ternyata Anda memilih untuk mendapatkan yang bergambar peci.
Salahkah? Tentu tidak. Alasannya logis karena yang peci nilainya jauh lebih banyak daripada yang golok. Namun, apakah saya bilang bahwa seandainya Anda memilih peci, Anda tidak boleh memiliki yang bergambar golok? mengapa Anda tidak memilih keduanya?
Pertanyaan ini akan sama jawabannya dengan pertanyaan sebelumnya. Mana yang Anda pilih, menjadi orang kaya namun korup apa menjadi orang miskin tapi baik? Apakah ada yang mengatakan bahwa setiap orang kaya itu adalah korup dan apakah ada yang mengatakan bahwa orang miskin selalu orang baik? kenapa kita tidak memilih “Saya ingin menjadi orang yang kaya namun baik.”
Sering sekali dalam lingkungan kita, kita secara tidak sadar diajarkan bahwa hiduplah dengan secukupnya, sewajarnya, dan apa adanya. Tidak perlu terlalu kaya atau bagaimana. Mimpi jangan ketinggian, apalagi jika terkait harta. Bisa-bisa mata menjadi buta. Jangankan orang biasa, ustad pun bisa jadi serakah jika membicarakan harta. Lebih baik miskin tapi bahagia, daripada kaya namun nelangsa.
Tapi, apakah memang pilihannya seperti itu? Apakah kita tidak bisa memilih menjadi kaya namun tetap bahagia? Apakah kita tidak bisa memilih menjadi kaya namun tetapi baik hatinya? Tentu saja bisa. Justru saya malah berpikir bahwa dengan menjadi kaya raya, kita bisa semakin banyak memberikan manfaat kepada orang sekitar. Jika kita cermat melihat berita di televisi, seringkali akar dari semua kejahatan adalah karena faktor kemiskinan dan kesulitan ekonomi keluarga.
Bayangkan jika kita kaya, sedekah berapa puluh peci pun di masjid tidak akan masalah dan deg-degan. Namun bayangkan jika kita memilih hidup pas-pasan, kita hanya bisa memberikan golok untuk kotak amal di masjid-masjid dan keropak Jumat. Seandainya pun Anda ingin bersedekah peci, pasti ada rasa khawatir ketika misal uang di dompet itu ala kadarnya.
Dari pengalaman yang saya temui, ternyata orang-orang kaya di Indonesia ini memiliki prinsip mengganti kata ‘atau’ yang biasa dilontarkan orang rata-rata menjadi kata ‘dan’. Jika memang tidak ada pembatasan untuk meraih keduanya, mengapa kita harus menggunakan kata ‘atau’? Bukankah kita berhak untuk mendapatkan peci dan golok sekaligus? Mengapa kita hanya memilih pecinya saja? begitu pula dengan nasib. Bukankah kita berhak untuk memilih kaya dan bahagia, kaya dan baik hatinya, dibandingkan jika kita hanya mengorbankan salah satunya?
Memang benar, kadang keterbatasan itu bukanlah karena secara potensi kita tidak berdaya. Namun karena memang seringkali kita membatasi diri kita yang akhirnya benar-benar membuat diri kita selalu mengorbankan sesuatu yang seharusnya bisa kita capai, secara bersamaan.
Bagaimana menurut Anda?
Ingin berkomunikasi dengan saya? Follow saja @ArryRahmawan
