Saya teringat suatu ketika sedang berbincang dengan teman saya, Mimi. Dia bertanya kepada saya, “Ry, menurut lo apa sifat yang di zaman sekarang ini paling susah untuk ditemukan dalam diri orang lain?” Saya kemudian berpikir. Sifat apa ya? Jawabannya akan terlalu luas dan subjektif. Tidak ada benar dan salah. Mungkin bagi sahabat yang membaca pertanyaan di atas, akan menjawabnya dengan sifat “kejujuran”. Tetapi kemudian apa yang disampaikan Mimi kepada saya ini menjadi sangat menarik.
“Menurut gue yang sekarang itu susah ditemui dalam diri orang lain adalah mereka yang mau mendengarkan orang lain dengan tulus dan sungguh-sungguh.” Entah kenapa, saya seperti sedang ‘ditegur’. Menjadi pendengar yang tulus bagi orang lain. Saya memperhatikan, dan ternyata benar. Susah mencari seseorang yang benar-benar tulus meluangkan waktunya untuk mendengarkan kita. Berikut indikasinya, kenapa sekarang susah mencari orang yang bisa mendengarkan dengan tulus.
BlackBerry Lebih Penting Daripada Mendengarkan
Saya seringkali ketika berbicara dengan orang, lawan bicara saya membagi dua perhatiannya. Satu untuk saya, satu untuk BlackBerry nya. Kadang saat saya berbicara, dia asyik membalas pesan yang ada di BlackBerry nya. Tidak tahan untuk segera membalas pesan yang ada. Mungkin penting, entahlah. Tapi, cobalah lakukan hal tersebut berulang-ulang, dan selamat Anda bukanlah pendengar yang tulus dan bersedia untuk meluangkan waktu untuk lawan bicara Anda.
Hanya Mendengar, Tidak Menyimak
Mungkin ada dari kita yang merasa bahwa selama ini kita sudah menjadi seorang pendengar yang baik. Kita tahan untuk mendengarkan orang berbicara. Kita siap untuk menjadi pendengar yang tulus, namun sayangnya saat diminta “rangkuman” dari apa yang didengarkan atau ditanya mengenai pendapat, tidak bisa. Yap, mendengarkan dengan tulus bukan hanya mendengar, tetapi juga menyimak. Memproses informasi yang masuk dari lawan bicara kita. Mengetahui makna dari apa yang dibicarakan.
Terlalu Banyak Bicara, Potong Saja
Ini juga salah satu sikap yang mengindikasikan bahwa kita tidak cukup baik menjadi pendengar. Banyak menginterupsi pembicaraan orang lain. Saya lihat ini terjadi pada banyak sekali politikus di televisi yang saling mempertahankan pendapatnya masing-masing tanpa ingin menjadi pendengar bagi yang lainnya. Hanya mau didengar saja. Semoga kita tidak termasuk yang seperti ini. Hanya mau didengar, tidak mau didengar. Lawan belum selesai bicara, kita sudah menimpalinya dengan bicara juga.
Tidak Menatap Mata Lawan Bicara
Memberikan tatapan mata kepada lawan bicara merupakan sebuah cara untuk menunjukkan bahwa kita memperhatikan dan tertarik dengan apa yang dibicarakan. Namun sayang sepertinya masih banyak sekali yang canggung untuk bisa menatap lawan bicara sehingga orang seringkali menduga bahwa dia ย memikirkan hal atau teralihkan perhatiannya dengan hal lain. Maka untuk menjadi seorang pendengar yang tulus, melatih kontak mata bisa menjadi sebuah sarana yang sangat penting sekali.
Keempat hal di atas itu, mungkin bisa kita perhatikan pada lawan bicara kita. Memang benar kata Mimi, banyak lawan bicara saya yang minimal mewakili satu sikap di atas. Padahal, didengarkan oleh orang lain, menurut saya merupakan sebuah kebutuhan. Siapapun pasti ingin didengarkan dengan tulus, termasuk kita. Maka mengapa kita tidak mencoba untuk mendengarkan dengan lebih tulus?
Bagaimana menurut Anda?
Ingin berkomunikasi lebih lanjut dengan saya? Follow saja @ArryRahmawan
